Minggu, 16 Oktober 2011

Tak Arif Merangkap Jabatan

Pic from here
Angin segar revolusi di republik ini diawali dengan munculnya rangkaian peristiwa yang berperan penting dalam mewujudkan  relasi yang baik dan benar di tengah masyarakat.Rangkaian peristiwa itu terangkum dalam terminologi kompromi. Contohnya, sejak dilantik sebagai Presiden RI, Gus Dur menampilkan prinsip merangkul semua konstituensi yang bermain di panggung politik. Tentu saja tak semua pro terhadap reformasi (proreformasi), sementara kelompok lain (antireformasi) terus berupaya melindungi diri dengan "topeng" supaya kelihatan proreformasi. Itulah sebabnya, orang-orang yang duduk di kabinet tak hanya berasal dari satu atau dua partai politik.


Sikap presiden keempat Republik Indonesia yang berani dan rela merangkul sebagian besar konstituensi, justru merepresentasikan kearifan relasi antarinsan yang patut diapresiasikan kendati mencuatkan kesan kurang perfect,kurang kompak dan kurang radikal. Kearifan itu bertitik tolak dari kenyataan bahwa masyarakat tidak pernah homogen, selalu beraneka. Tidak mungkin bisa diharapkan suatu komunitas bangsa hanya terdiri dari insan-insan yang berpandangan politik sama.Yang pasti, di tengah masyarakat ada insan-insan proreformasi, ada pula yang berada di "daerah kelabu" (serba tidak tegas), dan ada juga yang antireformasi. Suka atau  tak suka, semua warna yang berbeda-beda itu adalah bagian otentik dari  sebuah masyarakat, sebuah bangsa.


Jika Anda menginginkan masyarakat atau bangsa terjalin dalam kepaduan lewat relasi yang harmonis, pada dasarnya tidak boleh ada satu konstituensi pun, kendati ia buruk dan tidak penting, boleh dikucilkan. Maka pemimpin yang arif akan berupaya secara optimal mengakomodasikan semua konstituensi dalam partisipasi mereformasi dan memdemokrasikan bangsa menuju kesejahteraan bangsa.


Apakah dengan demikian pemimpin tersebut menoleransi kejahatan? Tentu saja tidak. MENGAPA? Karena pengakomodasian setiap konstituensi harus disertai ketegasan dalam penegakan hukum. Hukum kian dijadikan pijakan dan aturan main bersama, yang WAJIB ditaati oleh semua konstituensi termasuk juga pemimpin. Dengan demikian sikap kompromistik dan akomodatif dalam konteks ini sama sekali tidak berarti menoleransi kejahatan. Hal itu ditunjukkan oleh Nelson Mandela, pemimpin yang arif dari Afrika Serikat, yang terbukti bisa mengobati luka-luka bangsanya sebagai akibat dari cabikan-cabikan rasialisme dan apartheid.


Sesungguhnya hakikat kompromi dan sikap akomodatif adalah kesediaan dan keberanian untuk berbagi (share). Berbagi adalah salah satu kata kunci untuk perwujudan relasi antarinsan yang harmonis. Sebaliknya relasi antarinsan akan rusak apabila ada pihak atau konstituensi yang tidak pernah sudi dan tidak berani berbagi -termasuk berbagi rezeki, jabatan, kekuasaan, kesempatan, dlsb- dengan konstituensi lain. Kalau ada pihak yang mau menguasai segalanya seorang diri, pastilah, cepat atau lambat, relasi antarinsan akan rusak.


Dengan pemahaman yang lebih jauh, kesudian dan keberanian berbagi akan bermuara pada kepentingan publik seluas-luasnya. Karena setiap konstituensi yang mendapatkan bagian dalam proses berbagi itu pada hakikatnya adalah merepresentasikan sekelompok warga masyarakat. Maka, berbagi berarti berpihak kepada kepentingan masyarakat seluas-luasnya. Sedangkan sikap perilaku mau menguasai dan memiliki segalanya seorang diri, merupakan sikap yang merugikan masyarakat luas.


Sayang sekali, dalam perkembangan kemudian, di sana sini muncul kecenderungan beberapa tokoh penting yang justru tidak memberikan teladan sikap sudi dan berani berbagi. Sebagai contoh, masih ada elite politik yang sudah menduduki jabatan publik di lapangan eksekutif atau legislatif, tetapi masih tetap menggenggam jabatan pemimpin puncak di partai politik.


Sesungguhnya perangkapan jabatan puncak seperti itu kurang anggun. Kecenderungan tersebut justru mencerminkan sikap mau menguasai dan memiliki segalanya seorang diri. Sebagai public figure yang selalu menjadi panutan, mereka justru tidak memberikan teladan yang baik bagi masyarakat luas yang pada gilirannya bisa berdampak buruk.


Bagaimanapun juga, relasi antarinsan di tengah masyarakat memang bersangkut paut dengan elite politik di bumi negeri. Kalau mereka menyadari bahwa "berbagi" merupakan salah satu tindakan untuk mewujudkan relasi antarinsan yang harmonis, ada baiknya kaum elite di negeri ini memberi teladan sikap perilaku sudi, rela, dan berani berbagi jabatan, kekuasaan, rezeki, kesempatan dan sebagainya, dengan pihak-pihak lain yang sama-sama menjadi konstituensi bangsa.


Sudah saatnya ditiadakan perangkapan jabatan. Bukankah jumlah warga bangsa ini sedemikian banyak? Tidak masuk akal kalau dikatakan, yang mampu mengemban jabatan ini atau itu hanya orang ini dan itu.


@dicka_erd

Tidak ada komentar:

Posting Komentar