Adapted from : INTISARI NO. 423 EDISI OKTOBER 1998 HALAMAN 122-123
Pic from here |
Kalau sampah basah seperti sisa sayuran dari dapur, sisa makanan dari warung dan sampah daun dikomposkan begitu saja, prosesnya lama sekali sebelum hasilnya dapat dipungut. Selama itu, baunya menyengat hidung. Karena itu, para petani mengompos sampahnya dalam lubang di halaman yang jauh dari rumah. Lubang itu ditutup agar bau busuknya tidak berhamburan.
Petani yang lebih maju, mengompos sampah rumah dan kebunnya tidak dalam lubang, tetapi di bawah naungan atap gubuk yang sengaja dibangun untuk itu. Sampah ditimbun dengan diselingi jerami dan ditaburi pupuk kandang agar proses dekomposisi (pembongkaran) sampah berjalan lebih cepat. Itu berkat jasa renik dari pupuk (kotoran) kandang. Rata-rata hanya memakan waktu enam bulan. Tetapi, sementara proses belum berakhir, tak urung juga baunya busuk mencemari lingkungan.
Itulah sebabnya, tidak setiap orang yang bukan petani mau mengolah sampah rumah tangganya menjadi kompos yang bermanfaat. Lebih menyenangkan membuang sampah ke kali saja, meskipun mencemari lingkunan orang lain. Namun, itu dilakukan juga, karena yang menderita bau busuk bukan keluarganya sendiri.
Di kota besar yang pemerintah kotanya sudah modern, sampah basah dari rumah penduduk dipisahkan dari sampah kering seperti kertas, karet, plastik, kaleng dan benda lain. Lalu dijual kepada para pekebun buah di luar kota, untuk kemudian dikomposkan di tempat yang jauh dari tempat hunian.
Sampah basah ini biasanya ditimbun berlapis-lapis, tetapi diselingi dengan pupuk urea. Prosesnya tetap memakan waktu beberapa bulan sebelum hasilnya dapat dipungut dan bau pencemar lingkungan berakhir.
Seorang dosen dari Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret di Solo, pada tahun 1981 mempunyai gagasan untuk menyelenggarakan proses dekomposisi sampah (menjadi kompos) itu dengan jasad renik tukang bakar sampah dari lambung sapi. Lambung yang di Jawa Tengah dikenal sebagai babat itu biasanya dibersihkan oleh para pengumpul babat di rumah-rumah pemotongan hewan. Tapi isinya tidak! Isi lambung ini dibuang begitu saja.
Itulah yang dikumpulkan sang dosen, karena bahan itu bejibun dengan jasad renik pembongkar bahan organik. Isi itu dijemur sebentar agar mengering dan kehilangan sebagian kadar airnya. Kemudian dikeringkan lebih lanjut dengan pemanasan. Hasilnya digiling menjadi seperti gula semut, dan dijualnya sebagai starbio (starter biologis) untuk mengomposkan sampah (yang lain).
Karena kandungan jasad reniknya lebih pekat (dari pada kotoran kandang), penyelenggaraan proses dekmposisi jadi lebih cepat dari pada proses pengomposan dengan cara lama. Bau busuknya juga cepat berlalu.
Untuk mengompos sampah 1 ton diperlukan starbio 1 kg. Kompos yang terbentuk dalam 1,5 bulan kemudian dikemas dalam karung plastik, dan dijual sebagai fine compost dengan merek dagang “Green Valley”. Dalam era globalisasi ini, agaknya merek berbahasa Inggris lebih menjual dari pada merek berbahasa sendiri.
Kalau kita ikut memanfaatkan sampah rumah tangga yang tak berguna menjadi kompos yang berguna (sebagai pemerbaik tanah), kita masing-masing akan berjasa pula menyelamatkan lingkungan dari pencemaran bau busuk yang berkepanjangan. Ada baiknya kita memanfaatkan jasad renik dari isi lambung sapi yang dibuang percuma di berbagai rumah pemotongan hewan berbagai kota besar dan kecil.
Petani yang lebih maju, mengompos sampah rumah dan kebunnya tidak dalam lubang, tetapi di bawah naungan atap gubuk yang sengaja dibangun untuk itu. Sampah ditimbun dengan diselingi jerami dan ditaburi pupuk kandang agar proses dekomposisi (pembongkaran) sampah berjalan lebih cepat. Itu berkat jasa renik dari pupuk (kotoran) kandang. Rata-rata hanya memakan waktu enam bulan. Tetapi, sementara proses belum berakhir, tak urung juga baunya busuk mencemari lingkungan.
Itulah sebabnya, tidak setiap orang yang bukan petani mau mengolah sampah rumah tangganya menjadi kompos yang bermanfaat. Lebih menyenangkan membuang sampah ke kali saja, meskipun mencemari lingkunan orang lain. Namun, itu dilakukan juga, karena yang menderita bau busuk bukan keluarganya sendiri.
Di kota besar yang pemerintah kotanya sudah modern, sampah basah dari rumah penduduk dipisahkan dari sampah kering seperti kertas, karet, plastik, kaleng dan benda lain. Lalu dijual kepada para pekebun buah di luar kota, untuk kemudian dikomposkan di tempat yang jauh dari tempat hunian.
Sampah basah ini biasanya ditimbun berlapis-lapis, tetapi diselingi dengan pupuk urea. Prosesnya tetap memakan waktu beberapa bulan sebelum hasilnya dapat dipungut dan bau pencemar lingkungan berakhir.
Seorang dosen dari Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret di Solo, pada tahun 1981 mempunyai gagasan untuk menyelenggarakan proses dekomposisi sampah (menjadi kompos) itu dengan jasad renik tukang bakar sampah dari lambung sapi. Lambung yang di Jawa Tengah dikenal sebagai babat itu biasanya dibersihkan oleh para pengumpul babat di rumah-rumah pemotongan hewan. Tapi isinya tidak! Isi lambung ini dibuang begitu saja.
Itulah yang dikumpulkan sang dosen, karena bahan itu bejibun dengan jasad renik pembongkar bahan organik. Isi itu dijemur sebentar agar mengering dan kehilangan sebagian kadar airnya. Kemudian dikeringkan lebih lanjut dengan pemanasan. Hasilnya digiling menjadi seperti gula semut, dan dijualnya sebagai starbio (starter biologis) untuk mengomposkan sampah (yang lain).
Karena kandungan jasad reniknya lebih pekat (dari pada kotoran kandang), penyelenggaraan proses dekmposisi jadi lebih cepat dari pada proses pengomposan dengan cara lama. Bau busuknya juga cepat berlalu.
Untuk mengompos sampah 1 ton diperlukan starbio 1 kg. Kompos yang terbentuk dalam 1,5 bulan kemudian dikemas dalam karung plastik, dan dijual sebagai fine compost dengan merek dagang “Green Valley”. Dalam era globalisasi ini, agaknya merek berbahasa Inggris lebih menjual dari pada merek berbahasa sendiri.
Kalau kita ikut memanfaatkan sampah rumah tangga yang tak berguna menjadi kompos yang berguna (sebagai pemerbaik tanah), kita masing-masing akan berjasa pula menyelamatkan lingkungan dari pencemaran bau busuk yang berkepanjangan. Ada baiknya kita memanfaatkan jasad renik dari isi lambung sapi yang dibuang percuma di berbagai rumah pemotongan hewan berbagai kota besar dan kecil.
Pic from here |
Isi lambung itu hanya perlu dikeringkan, sebelum jasad renik di dalamnya dapat dikaryakan untuk membongkar sampah menjadi kompos. Hasilnya dapat dijual sebagai “pupuk” kompos di toko sarana produksi pertanian. Atau di kios keperluan hobi berkebun tanaman hias yang tersebar di berbagai kota.
@dicka_erd
1 komentar:
betulll. apalagi seresah daun dan ranting pohon begitu bejibun di STM kita. gooo GREEN !
Posting Komentar