SEKOLAH, dalam kata-kata Rabindranath Tagore -seorang
penyair dan pemikir India yang mendapatkan Nobel Prize di bidang sastra pada
tahun 1913-, adalah “pabrik pendidikan”. Memang tak ada cerobong asap yang
hitam, tak ada pula deru mesin yang muram. Tapi kata “pabrik” dalam ungkapan
Tagore, melukiskan sesuatu yang sangat tidak enak: benda modern yang begitu
kaku, bagitu keras. Dan mencapekkan. Apakah kata-kata itu berlaku di tanah air
kita?
Dunia pendidikan di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari
sejarah. Sejak zaman kolonial Belanda, pimpinan rakyat menyadari akan keterbelakangan
rakyatnya di bidang pendidikan. Karena pada masa itu banyak dijumpai orang buta
huruf sehingga kesulitan untuk berkomunikasi. Maka di tahun 1946 dan 1951 dimulailah
usaha pemberantasan buta huruf itu, meski dari hasil sensus dinyatakan gagal. Lalu
di tahun-tahun berikutnya mulai dikembangkan program-program pendidikan untuk
menekan tingginya angka tuna aksara.
1969/1970 merupakan awal dimulainya PELITA I (Pembangunan
Lima Tahun Pertama) memberikan pemikiran untuk mengadakan perubahan pada sistem
pendidikan nasional, utamanya pada Sekolah Teknologi Menengah. Melalui Proyek
Perintis Sekolah Teknologi Menengah Pembangunan yang ditetapkan oleh Menteri
P&K, sekolah-sekolah teknologi dengan jenjang pendidikan 4 tahun dibangun
di berbagai kota besar di Indonesia. Proyek berskala nasional inilah yang
menjadi cikal berdirinya Sekolah Teknologi Menengah Pembangunan Yogyakarta yang
diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 29 Juni 1972. Yaitu sekolah kejuruan
yang menjadi kebanggaan kita selama ini dengan sebutan Stembayo. Stembayo
adalah sekolah ketiga yang diresmikan secara langsung oleh Presiden RI setelah
STMP di Jakarta dan Semarang, lalu diikuti STMP di kota-kota lain seperti Surabaya,
Ujung Pandang, Bandung, Pekalongan dan Temanggung.
Di usianya yang mencapai genap empat puluh satu tahun pada akhir
Juni mendatang, Stembayo kini telah berganti nama menjadi SMK Negeri 2 Depok Sleman
Yogyakarta berdasarkan Surat Kepmen Depdikbud No. 0034/0/1997 tentang Perubahan
Nomenklator tertanggal 7 Maret 1997. Meski begitu tidak membuat pamor Stembayo surut
begitu saja, justru semakin getol menorehkan prestasi gemilang dalam berbagai
ajang kompetisi baik di lingkup kabupaten, provinsi, nasional sampai
internasional. Tentunya menjadi kebanggaan tersendiri karena kontingen Stembayo
selalu berhasil memborong predikat juara. Inilah yang akhirnya membawa nama Stembayo
dikenal dan disegani sekolah-sekolah setingkat dengannya.
Semenjak awal berdiri, Stembayo memang telah mendapat
sambutan hangat dari dunia industri tanah air. Banyak jebolan sekolah ini yang
bekerja di berbagai perusahaan/industri terkenal yang tersebar dari Sumatera
sampai Irian Jaya. Hal ini menandakan eksistensi Stembayo sebagai institusi
pencetak SDM yang mumpuni di bidangnya tidak dapat diragukan lagi bahkan sudah
mendapat tempat istimewa di mata industri. Maka tidak heran jika perusahaan-perusahaan
tersebut berlomba-lomba memburu siswa ataupun alumni Stembayo untuk dipekerjakan,
yang sampai saat ini tercatat sekitar tiga puluh perusahaan/industri berskala besar
pengguna lulusan Stembayo.
Tak ayal Stembayo menyandang sebagai sekolah favorit dengan
program studi terbanyak di Yogyakarta, yakni berjumlah sembilan program studi.
Dan untuk penerimaan siswa baru tahun 2012 yang lalu, lagi-lagi Stembayo
menggebrak dunia pendidikan dengan membuka dua program studi baru sekaligus yaitu,
Teknik Pengolahan Migas dan Petrokimia dan Teknik Kendaraan Ringan. Sembilan
program studi itu meliputi, Teknik Gambar Bangunan, Teknik Komputer Jaringan,
Teknik Audio Video, Teknik Otomasi Industri, Teknik Pemesinan, Teknik Perbaikan
Bodi Otomotif, Kimia Industri, Kimia Analis, dan Geologi Pertambangan. Begitu
pesatnya perkembangan iptek sehingga menuntut Stembayo turut melebarkan
sayapnya dengan membuka program studi baru yang semakin variatif, yang nantinya
diharapkan mampu menyedot panggung perhatian dunia industri untuk mengincar
lulusan Stembayo.
Dalam perjalanannya menuju sekolah bertaraf internasional Stembayo
juga telah mengantongi sertifikat Sistem Managemen Mutu ISO 9001:2008. Sebegitu
rapinya sistem managemen sekolah ini sehingga mengantarkan Stembayo ke dalam
daftar SBI Invest, yang lagi-lagi dinobatkan sebagai salah satu sekolah
percontohan (sekolah model) di Indonesia. Tak cukup sampai di situ Stembayo
juga mendapatkan predikat sebagai sekolah dengan pendidikan karakter bangsa
terbaik se-Yogyakarta. Dari sederet prestasi tersebut Stembayo bahkan mampu
memenangi bantuan uang pembangunan sarana dan prasarana dengan jumlah fantastis
yang diberikan oleh Asian Development Bank untuk sekolah terbaik di Indonesia
di tahun 2011 lalu. Tidaklah heran jika pembangunan gedung-gedung baru dan
perbaikan fasilitas sekolah selalu mewarnai hari-hari belajar di Stembayo.
Berdiri di atas tanah seluas 42.077 m2 menjadikan
sekolah ini mampu mengembangkan dan menata fasilitas sekolah secara maksimal,
baik itu dari segi gedung, lapangan olah raga, sampai rumput hijau di setiap
petak kecil di sana-sini. Selain itu juga tersedia sekitar 21 ekstrakulikuler
(wajib dan pilihan) yang dikelola dengan baik di bawah naungan organisasi
sekolah maupun siswa. Bahkan tidak tanggung-tanggung sekolah mendukung
sepenuhnya kegiatan ekstrakulikuler tersebut dalam hal finansial,
pelatih/pembimbing dan fasilitas lainnya. Sebuah bentuk kesinambungan yang baik
untuk mencapai tujuan yang baik pula.
Di balik kesuksesan yang telah diraihnya, ibarat kapal di
tengah lautan yang sedang berlayar, Stembayo juga mengalami pasang surut yang
sama, mengikuti arus zaman dengan segala tuntutannya. Mari kita sekadar menilik
dan menimbang-nimbangnya dalam pandangan yang lebih luas terhadap keadaan
pendidikan di Indonesia. Kritik itu bukan saja karena anak-anak belajar tanpa
kegembiraan. Pendidikan kita mengalami krisis efisiensi. Ada pretensi untuk
mampu memberikan sebanyak-banyaknya, tapi hasilnya?
Ambil saja contoh mata pelajaran Bahasa Inggris. Di
Indonesia, Bahasa Inggris merupakan bahasa asing pertama, dan diajarkan selama
lebih dari enam tahun di sekolah. Guru yang dididik untuk itu cukup banyak.
Buku pegangan yang dicetak hampir tanpa putus. Ford Foundation bahkan pernah
ikut membantu pembiayaan pendidikan yang satu ini. Namun apa akhirnya? Selepas
SMK/SMA, anak-anak tetap saja macet dalam memakai bahasa itu-kecuali untuk
menirukan para penyanyi. Kursus-kursus tambahan pun berkembang biak: industri
baru menunjukkan gagalnya proyek enam tahun yang merayap di bangku sekolah.
Meski
sebabnya yang persis perlu ditelaah, satu hal jelas: pendidikan sekolah di
Indonesia mengalami krisis efisiensi. Pengajaran bahasa Inggris yang gagal itu
mungkin metodenya keliru, tetapi lebih mungkin lagi karena siswanya tak pernah
dapat belajar secara intensif. Konsentrasi mereka jadi nanar menghadapi
kurikulum seperti kurikulum 75. Mereka harus menelan sekitar 15 mata perlajaran
seminggu, tanpa pilih bulu.
Boleh jadi bila berbagai resep pendidikan ternyata keliru,
pada saat ia dipakaikan. Tak mengherankan bila para menteri pendidikan sendiri
pun, silih berganti, merasa tak puas dengan keadaan pendidikan formal yang ada.
Menteri A mencoba mengubah x, lalu datang Menteri B yang mencoba memperbaiki y.
Dan seterusnya: suatu niatan mulia untuk mengoreksi, tapi sekaligus mungkin
juga suatu petunjuk bahwa para orangtua dan ahli pendidikan mungkin sudah lama
tak ingat bahwa anak-anak bukan sekadar bahan, angka, atau masalah.
Tapi toh sering terasa, sekolah tidak
ditampilkan sebagai persoalan anak-anak, melainkan anak-anak yang dianggap
merupakan persoalan sekolah. Dan tak jarang institusi yang disebut Tagore
“pabrik pendidikan” itu telah mengambil alih posisi: bukan sekolah itu yang
merupakan kepentingan anak, melainkan si anak yang merupakan kepentingan
sekolah. Sekolah adalah segala-galanya, dan terutama: sekolah adalah kekuasaan.
Praktisnya
–demi target di akhir tahun ajaran- berlakunya suatu doktrin yang tersembunyi:
bahwa hanya di laci gurulah tersedia jawab yang benar, dan bahwa sekolah bukanlah
tempat untuk mencicipi indahnya seni dan asyiknya ilmu. Tak heran bila banyak
anak muda Indonesia mudah jatuh ke dalam pernyataan yang strereotip atau tak
cukup kritis kepada agitasi yang menghimbau. Mereka sudah lama tak berniat
menemukan cara sendiri.
Niat mencari sendiri yang tak dihidupkan
itulah yang antara lain menyebabkan siswa sangat tergantung pada sekolah
lanjutan di atasnya, begitu guru mereka membagi-bagikan ijazah akhir. Dan
ketika ketergantungan itu sampai pada akhir perguruan tinggi, suatu wajah baru
pun nongol: sekolah seakan-akan sekadar lembaga yang bisa memperpanjang status
“belum dewasa”.
Hidup hanya menunda kekalahan, kata Chairil Anwar. Kita pun
takut pendidikan sekolah akhirnya hanya menunda pengangguran. Tapi adakah
anak-anak tahu, adakah mereka sadar –lalu resah ataupun cari akal– tak seorang
pun tahu pasti. Karena itulah tak ada jeleknya kita bertanya dan mereka mencoba
menjawab.
Barangkali spekulasi tadi yang terus berkembang di tengah
hiruk pikuk dan gonjang-ganjing dunia pendidikan di Indonesia, yang kadangkala
menggelitik pikiran kita sendiri. Lalu sejauh mana pendidikan di Stembayo ini
kita dibawa? Sebuah pertanyaan yang tak terduga namun sulit untuk dijawab.
Saya, anda, mereka atau siapapun itu boleh angkat bicara untuk menjawabnya.
BRAVO STEMBAYO, BRAVO PENDIDIKAN DI INDONESIA!!!
Oleh: Dika Erdiyawan XIII GPA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar