SEKOLAH, dalam kata-kata Rabindranath Tagore -seorang
penyair dan pemikir India yang mendapatkan Nobel Prize di bidang sastra pada
tahun 1913-, adalah “pabrik pendidikan”. Memang tak ada cerobong asap yang
hitam, tak ada pula deru mesin yang muram. Tapi kata “pabrik” dalam ungkapan
Tagore, melukiskan sesuatu yang sangat tidak enak: benda modern yang begitu
kaku, bagitu keras. Dan mencapekkan. Apakah kata-kata itu berlaku di tanah air
kita?
Dunia pendidikan di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari
sejarah. Sejak zaman kolonial Belanda, pimpinan rakyat menyadari akan keterbelakangan
rakyatnya di bidang pendidikan. Karena pada masa itu banyak dijumpai orang buta
huruf sehingga kesulitan untuk berkomunikasi. Maka di tahun 1946 dan 1951 dimulailah
usaha pemberantasan buta huruf itu, meski dari hasil sensus dinyatakan gagal. Lalu
di tahun-tahun berikutnya mulai dikembangkan program-program pendidikan untuk
menekan tingginya angka tuna aksara.