Pic from here |
Jawa adalah salah satu bagian dari kepulauan besar Indonesia yang di dalamnya menyimpan beragam kekayaan budaya lokal mulai dari kesenian tradisional seperti seni tari (tari jaipong, reog, jathilan, dll), seni patung (gerabah di Kasongan), seni ukir, kuliner, tata kebahasaan, suku-suku (suku Jawa, Badui), hingga peninggalan purbakala sebagai warisan dari nenek moyang berupa candi, arca, pura, dsb. Inilah bukti bahwa nenek moyang suku Jawa di zaman dulu mempunyai kultur tinggi dan tradisi yang kental penuh mistis. Tapi sejarah tidaklah berhenti sampai di situ. Pulau Jawa kian dipadati oleh pendatang-pendatang baru membawa pengaruh-pengaruh baru pula. Dan hingga sekarang pun Jawa menjadi pilihan destinasi orang-orang luar yang ingin mencicipi setiap jengkal tanah dan kekayaan budayanya.
Nah, tentu kita pernah menonton salah satu kebudayaan Jawa entah itu kethoprak atau wayang baik wayang wong atau wayang kulit. Di zaman dulu pagelaran seni ini mendapatkan banyak sekali penonton dari setiap elemen masyarakat mulai dari kalangan tua, muda dan anak-anak. Barangkali di zaman itu pagelaran semacam ini jarang diadakan sehingga mereka punya animo besar untuk ikut menyaksikannya. Bisa dibilang acara langka dan spektakuler kalau di zaman sekarang. Ingatkah jika setiap prosesi pagelaran tersebut diiringi tembang-tembang Jawa dimana yang menyanyikan adalah seorang wanita, mereka itulah yang dijuluki sindhen atau pesindhen (Bahasa Jawa). Sinden menyanyikan tembang-tembang Jawa diiringi musik tabuh yaitu gamelan. Mereka tentu punya kemampuan olah vokal yang baik serta keluwesan untuk menembangkan lagu-lagu Jawa. Sementar itu istilah sinden dikenal di beberapa daerah seperti Yogyakarta, Solo, Sunda, Banyumas, Jawa Barat dan Jawa Timur.
Pic from here |
Sinden di zaman dulu masih menyertakan unsur-unsur ritual dan menjunjung aturan-aturan tertentu sebagai titik tolak pertunjukan. Tugasnya adalah berkolaborasi dengan sang dalang. Sinden biasa duduk di belakang dalang yaitu di belakang gender dan di depan tukang kendhang. Namun seiring perkembangannya kini posisi duduknya dialihkan di sebelah kanan dalang dan menghadap penonton. Jumlahnya pun sekarang tidak terpatok satu atau dua tapi bisa sampai delapan bahkan sepuluh orang.
Lain cerita lagi, ternyata sinden tidak hanya didominasi kaum wanita melainkan lelaki yang mempunyai kualitas suara seperti wanita bisa ikut tampil berduet dengan sinden-sinden wanita. Uniknya sinden lelaki justru sempat nge-trend dan menggebrak dunia persindenan karena berkat kehadirannya di panggung pertunjukan mendapatkan nilai plus di mata sang dalang. Sementara untuk hal busana baik sinden wanita maupun lelaki mengenakan pakaian Jawa sehingga nampak anggun dan elegan. Posisi duduknya tidak jarang menjadi penghias sebuah panggung pertunjukan wayang. Wajar bukan bila sindennya muda dan cantik-cantik akan membuat penonton lebih kerasan dalam menikmati pertunjukan ini.
Kini seiring modernisasi zaman dunia persindenan seakan kehilangan suara emasnya. Hal ini bisa terlihat pada semakin sedikitnya jumlah peminat seni tembang Jawa serta menurunnya intensitas pagelaran yang melibatkan peran pesinden. Namun di sisi lain mulai bermunculan program garapan baik media elektronik misalnya di televisi dan yang secara nyata menggugah ranah dunia hiburan tanah air. Ambil saja contoh : opera van java. Program yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisi swasta ini menyajikan suatu acara yang menganut konsep pewayangan wong atau kethoprak dimana menonjolkan sisi humoritas para aktornya. Namun demikian urusan alur cerita dan isinya tidak jelas sehingga kadang-kadang membuat bingung penonton. Tapi bagi pencinta humor munkin tidak menjadikan permasalahan.
Atas dasar ini bisakah kita mengatakan kalau program ini hanya menjual gebyar bukan menitikberatkan pada kulitas serta pesan yang ingin disampaikan pada seluruh masyarakat. Inilah kenyataannya bahwa modernitas sangat mengagungkan tren, style, pride dan sebagainya. Kemungkinan program semacam ini akan segera lenyap ketika industri seni di televisi sudah tidak mengehendaki konsep acara yang demikian. Akankah dunia persindenan tetap akan setia pada bentuk-bentuk tradisional? Absolutely NOT. Tentu saja akan mengikuti pergerakan zamannya.
Pic from here |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar